Smart Grid, Masa Depan Listrik Indonesia Mulai Terbuka Lebar

  • Comments: 0
  • Posted by: Humas

Tangerang — Wakil Rektor I Institut Teknologi PLN (ITPLN), Prof. Syamsir Abduh, memproyeksikan sistem kelistrikan nasional akan mengalami transformasi besar melalui penerapan smart grid.

Teknologi ini disebut mampu mengintegrasikan pembangkit besar, energi terbarukan skala kecil, hingga penyimpanan listrik dalam satu jaringan cerdas yang efisien dan andal.

Pernyataan tersebut disampaikan Syamsir dalam Seminar Nasional bertajuk “Energi Terbarukan Microgrid” yang digelar Himpunan Mahasiswa Teknik Elektro Universitas Muhammadiyah Tangerang, Minggu, 10 Agustus 2025.

Menurutnya, evolusi sistem ketenagalistrikan di Indonesia akan bergerak dari model terpusat (centralised system) menuju sistem terdesentralisasi (decentralised system) yang memanfaatkan sumber energi terbarukan.

“Selama ini pembangkit listrik kita didominasi skala besar, seperti PLTU, PLTA, atau PLTP, yang terhubung langsung ke jaringan transmisi. Ke depan, rumah tangga dan industri akan menjadi prosumer—pengguna sekaligus produsen energi—dengan memasang PLTS atap, micro grid, dan penyimpanan baterai,” ujar Syamsir di Tangerang, Minggu, 10 Agustus 2025.

Ia menjelaskan, transisi ini tak terjadi seketika. Ada tahap hybrid system di mana jaringan masih mengandalkan pembangkit pusat, namun mulai memasukkan sumber energi terbarukan terdistribusi.

“Di sinilah smart grid berperan sebagai otak yang mengatur arus listrik dua arah antara produsen dan konsumen,” katanya.

Berdasarkan data World Energy Council yang dipaparkan dalam seminar, penerapan smart grid didorong oleh penurunan biaya teknologi dan digitalisasi sektor ketenagalistrikan. Sistem ini memungkinkan pengelolaan beban listrik yang bersifat intermittent tanpa mengorbankan keandalan pasokan.

Smart grid, kata Syamsir, memiliki lima karakteristik utama: mengakomodasi semua jenis pembangkit dan penyimpanan energi, memfasilitasi integrasi energi terbarukan, menjaga kualitas daya, mengoptimalkan aset dan efisiensi operasi, serta meningkatkan ketahanan terhadap gangguan atau bencana.

“Dengan kemampuan ini, masyarakat bukan lagi sekadar pengguna listrik, tetapi juga bagian dari ekosistem penyediaan energi,” tuturnya.

Syamsir juga membandingkan kondisi kelistrikan saat ini dengan smart grid. Saat ini, pelanggan cenderung pasif, pembangkit terpusat mendominasi, dan integrasi energi baru masih terbatas. Sementara smart grid memungkinkan pelanggan aktif, sumber energi beragam, dan sistem lebih tangguh menghadapi ancaman, termasuk serangan siber.

Ia menambahkan, ada lima aspek yang perlu diperhatikan dalam pengembangan smart grid: peningkatan sistem tenaga, komunikasi dan standar, kecerdasan komputasi, serta aspek lingkungan dan ekonomi.

“Kunci keberhasilan ada pada sinergi kebijakan, investasi, dan kesiapan teknologi,” katanya.

Tren global menunjukkan perlu investasi besar di bidang ini. Data Singapore Standards Council mencatat Amerika Serikat menggelontorkan USD 5,045 miliar untuk pengembangan smart grid, diikuti China USD 3,32 miliar, Jepang USD 263 juta, dan Korea Selatan USD 124 juta.

“Indonesia harus mulai melangkah agar tidak tertinggal,” ucap Syamsir.

“Jika diterapkan dengan tepat, smart grid bukan hanya modernisasi jaringan listrik, tapi juga pintu masuk menuju smart energy city—kota yang efisien energi, ramah lingkungan, dan berbasis energi terbarukan,” pungkasnya.

Di lokasi yang sama, Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Jakarta, Prof. Budiyanto, menegaskan secara teknis pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dapat memasok daya ke jaringan listrik (on grid) berapa pun kapasitasnya. Namun, kebijakan energi di Indonesia saat ini membatasi penyaluran listrik dari masyarakat ke jaringan karena cadangan listrik di Indonesia, khususnya Jawa-Balu sudah berlebih.

“Secara teknis, untuk on grid bisa saja. Berapa saja kemampuan yang diberikan PLTS bisa masuk ke dalam grid. Namun, kebijakan di Indonesia saat ini masih kelebihan energi,” kata Budiyanto.

Ia menjelaskan, pengaturan kapasitas listrik yang disalurkan ke jaringan dapat dilakukan sesuai kebutuhan pengguna.

“Kalau mau off grid, mau berapa saja kapasitasnya tidak dibatasi. Tapi kalau mau disalurkan ke on grid, ada kebijakan tersendiri,” katanya.***

Author: Humas