JAKARTA – Industri modul surya dalam negeri terus mencatat perkembangan signifikan. Berdasarkan data Asosiasi Pabrikan Modul Surya Indonesia (APAMSI), total kapasitas produksi nasional saat ini telah mencapai 681 megawatt-peak (MWp) per tahun.
Hal ini tercermin dalam Seminar Nasional Himpunan Mahasiswa Mesin (HMM) Insitut Teknologi PLN (ITPLN), bertajuk Evolusi Material Panel Surya untuk Ketahanan Energi Nasional.
“Dengan potensi sinar matahari yang melimpah, energi surya dapat menjadi tulang punggung transisi menuju energi bersih di Indonesia,” ujar Perekayasa Ahli Madya Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dr. Giri Wahyu Alam yang juga dosen ITPLN, Rabu, 30 Juli 2025.
Terlebih, ungkapnya, proyeksi kontribusi energi surya dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2025-2034 diharapkan menyumbang hingga 17,1 gigawatt (GW), dengan rata-rata peningkatan 1,71 GW per tahun.
Dalam RUPTL 2025–2034 itu, penambahan pembangkit mencapai 69,5 GW. Dari jumlah tersebut, sebanyak 42,6 GW atau 61 persen berasal dari energi baru terbarukan (EBT), termasuk energi surya, air, angin, panas bumi, bioenergi, dan nuklir.
“Energi surya diproyeksikan menjadi komponen utama dalam bauran pembangkit listrik energi terbarukan Indonesia pada 2034, terutama dalam skenario pembangunan berkelanjutan atau skenario GREEN,” katanya.
Berdasarkan skenario GREEN, lanjut Giri, produksi listrik dari tenaga surya diperkirakan tumbuh pesat dengan rata-rata pertumbuhan tahunan sebesar 49,3 persen, meningkat dari 0,7 TWh pada 2023 menjadi 59 TWh pada 2034.
“Ini menunjukkan bahwa energi surya memiliki potensi besar untuk menjadi solusi jangka panjang dalam transisi energi bersih nasional,” ucapnya.
Saat ini, ungkap Giri, ada sejumlah investor baru dalam industri panel surya di tanah air. Seperti PT SEG Solar Manufacturing Indonesia di Kawasan Industri Terpadu, Batang. PT SEG Solar Manufacturing Indonesia merupakan hasil kerja sama SEG Solar Inc. (Amerika Serikat) dengan PT ATW Solar Manufaktur Indonesia yang memulai produksi solar panel sejak April 2025 dengan kapasitas 5 gigawatt (GW) sel dan 5 GW modul per tahun.
“Modul yang diproduksi tipe N dengan teknologi generasi pertama yang memiliki efesiensi hingga 26,4 persen,” katanya.
Selain itu, lanjut Giri, ada juga PT Trina Mas Agra Indonesia (TMAI) di Kendal, Jawa Tengah yang beroperasi pada Juni 2025 dengan kapasitas awal 1 GWp per tahun. Perusahaan ini patungan Trina Solar Co. Ltd asal China dan PT PLN Indonesia Power Renewables dengan kapasitas hingga 3 GWp pada 2030.
“Ada juga PT Pertamina NRE bersama Longi tengah membangun fasilitas produksi di Cikarang, Jawa Barat. Targetnya, pabrik tersebut dapat menghasilkan 1,4 GWp modul surya per tahun mulai 2026, dengan total kontribusi proyek terhadap kapasitas nasional diperkirakan mencapai 3 GWp,” jelasnya.
Dalam transisi energi ini, jelasnya, energi surya bukan hanya mendukung target net zero emission 2060, tapi juga akan memperkuat ketahanan energi nasional. Terlebih, tuturnya, Indonesia sendiri memiliki sumber daya dan cadangan silikon hingga lebih dari 59 miliar ton, selain tembaga, seng, perak, dan karbon yang mendukung pengembangan teknologi generasi sel surya baru.
Dalam kesempatan itu, Pembina HMM ITPLN, Muhammad Ridwan menyambut baik Seminar Nasional tersebut. Dia pun mendorong mahasiswa menjadikan isu material PLTS sebagai fokus penelitian. Informasi program penelitian ITPLN bisa diakses melalui itpln.ac.id.
“Dengan material yang lebih tahan lama dan efisien, panel surya dapat menghasilkan daya lebih besar,” katanya.
Senada dengannya, Ketua HMM ITPLN, Sean Gilbert Ivander Silaban berharap seminar ini menjadi langkah awal bagi mahasiswa untuk terlibat aktif dalam pengembangan material panel surya, sebagai bagian dari kontribusi nyata menuju transisi energi bersih di Indonesia.***