JAKARTA — Institut Teknologi PLN (ITPLN) mengganti pengolahan limbah konvensional ke teknologi modern, Moving Bed Biofilm Reactor (MBBR). Penerapan teknologi MBBR ini dilakukan pada instalasi pengolahan air limbah (IPAL) kampus sebagai terobosan dalam mewujudkan kampus ramah lingkungan sekaligus memenuhi standar UI GreenMetric dan dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup (DELH).
Dosen Teknik Lingkungan ITPLN, Rachmad Ardhianto, mengatakan penerapan teknologi MBBR pada IPAL kampus ini mengganti sistem lama berbasis lumpur aktif yang tidak lagi mampu mengikuti fluktuasi beban limbah kampus.
“MBBR dipilih karena lebih stabil, hemat ruang, dan mampu mengurangi produksi lumpur,” ujar Rachmad saat berbincang, Jum’at, 28 November 2025.
Diakuinya, IPAL ITPLN sebenarnya sudah ada sejak kampus berdiri. Namun, sebelumnya hanya bekerja dalam mode anaerob sederhana akibat kerusakan unit mekanik seperti blower dan minimnya pemeliharaan. Kini, ucapnya, ITPLN menerapkan teknologi pengolahan air limbah secara biologis yang menggunakan media plastik kecil yang terus bergerak untuk menampung mikroorganisme pengurai polutan.
“Sistem ini efisien, membutuhkan ruang lebih kecil, dan biaya operasional serta investasi yang lebih rendah dibandingkan metode pengolahan tradisional,” katanya.
IPAL dengan teknologi MBBR ini, ungkapnya, bisa mengolah limbah dapur hingga toilet. Baik itu black water dari toilet, grey water dari aktivitas mandi dan cuci hingga air limbah dapur yang telah melalui pemisahan minyak dan lemak. Selain fasilitas IPAL ini, ITPLN juga memisahkan limbah laboratorium dibuang secara khusus ke TPS Limbah B3 kampus.
“Kualitas air olahan IPAL ITPLN mengacu pada Permen LHK No. 68/2016 mengenai baku mutu air limbah domestik. Pemantauan dilakukan setiap hari melalui pengukuran DO, pH, TSS, SVI, ORP, COD, dan klorin. Setiap enam bulan, kampus melibatkan laboratorium eksternal terakreditasi untuk verifikasi kualitas,” jelasnya.
Menurutnya, IPAL dengan teknologi MBBR ini memiliki kapasitas desain 80 m³ per hari dengan total media MBBR sebanyak 5 m³. IPAL ITPLN ini dibuat tepat di bawah laboratorium Pusat Penelitian dan Pengkajian Energi Terbarukan (P3EBT). ITPLN juga telah memiliki laboratorium waste to energi yang bisa mengolah sampah untuk dijadikan energi.
“Sejauh ini, program ini mendukung green metric kampus, namun tidak menutup kemungkinan bekerjasama dengan pihak external dalam melakukan pengembangan penelitian, seperti recovery nutrient dari air limbah domestic untuk pengembangan slow release fertilizer dan lainnya,” ungkap Rachmad.
Pihaknya juga mendorong mahasiswa dan dosen agar menjadikan fasilitas ini untuk kepentingan riset dan inovasi. Seperti pengembangan integrasi Solar PV dengan proses elektrokoagulasi dan membran keramik, pengembangan teknologi pemulihan nutrien (P dan N) dari urine untuk pupuk pelepas lambat hingga membuat sistem Internet of Things (IoT) yang terhubung dengan proses IPAL.
“IPAL ini menjadi sarana dan prasaran praktikum dalam matakuliah di Prodi Teknik Lingkungan, dan tidak menutup prodi lain yang akan menggunakan untuk pengembangan produk, misalnya aplikasi IOT yang terintegrasi dengan sistem IPAL, dan lain sebagainya,” jelasnya.
Pesan untuk Jakarta
Rachmad menilai pengalaman ITPLN dalam mengolah limbah relevan bagi kota-kota besar, khususnya Jakarta yang memiliki banyak gedung bertingkat. Dia mendorong pemerintah setempat melakukan penerapan adnvaced treatment untuk air limbah domestik sendiri mengingat kebutuhan akan keberlanjutan air cukup signifikan ke depan.
“Hal ini sejalan dengan misi pemerintah dalam menggaungkan pengelolaan air yang berkelanjutan serta melihat sungai-sungai di DKI khususnya yang sangat sudah tercemar, dengan perbaikan yang masif. Sehingga tidak menutup kemungkinan sungai-sungai di Jakarta bisa digunakan sebagai sumber air baku,” tandasnya.***