Peneliti ITPLN Ungkap Gap Besar Pembangkit EBT dan Transmisi, Ini Rekomendasi AEPS2 Center

  • Comments: 0
  • Posted by: Humas

JAKARTA — Peneliti Pusat Kajian Advance Energy and Power System Solution Center (AEPS2 Center) Institut Teknologi PLN (ITPLNITPLN), Ibnu Hajar, menilai percepatan pembangunan pembangkit energi baru terbarukan (EBT) harus diimbangi dengan kesiapan jaringan dan transmisi nasional.

Menurut Ibnu, dalam beberapa tahun terakhir pengembangan PLTS, PLTB, dan pembangkit EBT lainnya meningkat signifikan. Namun kapasitas jaringan listrik masih terbatas dan belum diperluas secara strategis.

“Ada gap besar antara pertumbuhan pembangkit EBT dan kesiapan jaringan transmisi. Akibatnya, sebagian potensi energi terbarukan tidak bisa disalurkan optimal, bahkan terbuang,” ujar Ibnu di Jakarta, Rabu, 3 Desember 2025.

Ia menjelaskan sebagian besar sumber EBT berada di wilayah berpenduduk rendah seperti Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Indonesia timur. Sementara itu, permintaan listrik terkonsentrasi di Jawa dan kota metropolitan. Ketimpangan geografis ini diperparah karena saluran transmisi belum mampu menghubungkan kedua kawasan secara memadai.

Indonesia juga masih mengandalkan jaringan yang dirancang untuk mengalirkan listrik dari pembangkit konvensional yang stabil. Masuknya sumber energi surya dan angin yang bersifat fluktuatif menuntut fleksibilitas tinggi, sesuatu yang belum sepenuhnya mampu dipenuhi oleh infrastruktur saat ini.

“Tanpa adaptasi teknologi, fluktuasi daya PLTS dan PLTB dapat mengganggu stabilitas sistem,” kata Ibnu.

Sejumlah wilayah masih beroperasi dengan sistem kelistrikan terisolasi sehingga kelebihan daya dari satu daerah tidak bisa dialihkan ke wilayah lain. Kondisi ini mengurangi efisiensi nasional dan membuat pemanfaatan EBT tidak optimal.

Dalam beberapa kasus, terjadi bottleneck ketika produksi listrik EBT tinggi tetapi kapasitas transmisi tidak mencukupi. Energi akhirnya harus dikurangi (curtailment) sehingga pemanfaatannya turun. Situasi tersebut membuat investor ragu, terutama untuk proyek PLTS skala besar, karena belum ada kepastian bahwa energi yang dihasilkan dapat disalurkan.

Ibnu menambahkan bahwa ekspansi jaringan terkendala biaya besar dan proses perizinan berlapis, terutama untuk pembebasan lahan.

“Ini membuat pembangunan infrastruktur listrik berjalan jauh lebih lambat dibanding pengembangan pembangkit EBT,” imbuhnya.

Dampaknya, integrasi EBT tanpa penguatan jaringan berisiko menurunkan kualitas tegangan, menyebabkan overload, hingga memicu pemadaman lokal. Infrastruktur transmisi pun belum sepenuhnya dilengkapi teknologi digital modern seperti wide-area monitoring atau sensor pintar yang diperlukan untuk mengelola karakteristik pembangkit EBT.

“Kesenjangan kapasitas semakin melebar. Jika tidak segera diatasi, kita akan menghadapi tantangan logistik energi yang serius,” ucap Ibnu.

 

Rekomendasi AEPS2 Center ITPLN

Ibnu menyebut AEPS2 Center ITPLN menawarkan sejumlah solusi untuk memperkuat sistem tenaga nasional agar siap menerima penetrasi EBT skala besar, antara lain:

-Desain Teknologi Penyimpanan Energi

Integrasi battery energy storage system (BESS) untuk mengatasi intermittency PLTS/PLTB, menjaga stabilitas frekuensi, dan menyediakan layanan ancillary.

-Perencanaan Sistem Tenaga yang Fleksibel

Pengembangan smart grid, demand response, dan kontrol inverter canggih (grid-forming) untuk meningkatkan keandalan operasi jaringan.

-Perencanaan Energi Terintegrasi

Optimasi investasi dan ekspansi jaringan agar mampu mendukung EBT skala besar dengan biaya efisien.

-Teknologi Konversi Daya Lanjutan

Pengembangan converter modern seperti VSC, MMC, dan back-to-back untuk integrasi EBT, interkoneksi sistem, serta aplikasi industri dan kelautan.

-Advisory, Pelatihan, & Standardisasi

Penyusunan standar teknis, peningkatan kompetensi profesional, serta dukungan teknis terkait EBT, BESS, power electronics, dan sistem tenaga modern.***

Author: Humas