JAKARTA — Indonesia akan memasuki dekade kritis transisi energi. Namun di tengah percepatan pembangunan energi baru terbarukan (EBT), kebutuhan tenaga kerja hijau (green jobs) justru melesat jauh lebih cepat dari kesiapan sumber daya manusia (SDM).
Dalam panel Electricity Connect 2025 bertema Human Capital Development in Energy Transition for Green Job Demand, Rektor Institut Teknologi PLN (ITPLN) Prof. Iwa Garniwa menyampaikan kalkulasi terbaru kebutuhan tenaga kerja EBT atau green jobs yang mencapai hampir sejuta talenta berdasarkan proyeksi RUPTL 2025–2034.
“Dari kalkasi saya, diperkirakan Indonesia butuh 980 ribu talenta terampil untuk membangun proyek-proyek EBT dalam 10 tahun ke depan,” ujar Prof. Iwa di JICC Senayan, Jum’at, 21 November 2025.
Dia mencontohkan, untuk proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) estimasi membutuhkan 372.000 hingga 740.000 pekerja dalam sepuluh tahun ke depan, tergantung kapasitas PLTS. Begitu pun dengan pembangkit panas bumi dengan estimasi butuh 30.000–60.000 pekerja, biomassa 7.000–24.000 pekerja, serta instalasi baterai dan sistem penyimpanan energi yang mencapai 25.000–56.000 pekerja.
Sementara kalkulasi untuk tahap operasi dan pemeliharaan, Indonesia memerlukan tambahan 21.000 hingga 62.000 pekerja permanen setiap tahun, terutama untuk mengelola PLTS, panas bumi, dan biomassa.
“Dibandingkan dengan sektor energi fosil, kebutuhan tenaga kerja untuk EBT jauh lebih besar. Sementara pembangunan pembangkit fosil hanya memerlukan sekitar 70.000–100.000 pekerja, kebutuhan di sektor EBT mencapai setengah hingga satu juta orang,” katanya.
Dari data McKinsey, ungkapnya, tergambarkan revolusi industri 4.0 mengubah lanskap ketenagakerjaan Indonesia secara drastis. Sedikitnya, ada 23 juta pekerjaan akan tergantikan otomatisasi pada 2030. Namun ada peluang 27–46 juta pekerjaan baru muncul.
“Dan 10 juta jenis pekerjaan itu diantaranya belum ada saat ini,”
Menurutnya, perguruan tinggi harus bergerak cepat untuk memenuhi kebutuhan talenta terampil ini yang akan mengisi green job. Kompetensi masa depan, jelasnya, menuntut lulusan yang adaptif, agile learner, multidisiplin, digital savvy, kompleks problem solver, dan berwawasan global.
“Kita punya gap besar. Yang dibutuhkan industri adalah grafik biru, tapi kemampuan BAU (business as usual) kita masih berada jauh di bawah,” ungkapnya.
Untuk menjembatani gap itu, ITPLN mendorong program yang lebih agresif. Seperti kolaborasi industri, peningkatan magang di sektor EBT,riset bersama, sertifikasi kompetensi, proyek akhir berbasis problem industri, serta penyelarasan kurikulum dengan kebutuhan transisi energi.
Setiap lulusan ITPLN, kata Prof. Iwa, dibekali tiga sertifikasi minimal: bahasa Inggris, literasi digital, dan sertifikasi industri terkait energi. Mahasiswa ITPLN, tegasnya, disiapkan bukan hanya dengan hard skill, tetapi juga soft skill seperti adaptif, mandiri, dan mampu bekerja lintas disiplin.
Senada, Kepala BPSDM Kementerian ESDM, Prahoro Yulianto Nurtjahyo, menegaskan bahwa peluang green jobs Indonesia sangat besar, namun suplai SDM masih jauh tertinggal.
“Kami mengidentifikasi 764 peluang pekerjaan dalam peta okupasi transisi energi. Demand-nya ada, peluangnya besar, tapi supply masih sangat terbatas. Pertanyaannya, bagaimana kita melibatkan para pemangku kepentingan untuk mempercepat pemenuhan kebutuhan ini?” kata Prahoro terheran.
Menurut Prahoro, peta okupasi ini harus segera diterjemahkan ke dalam program pelatihan, sertifikasi, dan penyediaan tenaga kerja yang lebih terstruktur. Pihaknya berharap diskusi ini bisa berlanjut dengan pembahasan lebih mendetail bersama mitra industri dan akademisi.***
