JAKARTA – Pemerintah dinilai perlu memperkuat tata kelola kelembagaan dan regulasi dalam pengembangan energi terbarukan ke depan. Wakil Rektor I Institut Teknologi PLN (ITPLN), Prof. Syamsir Abduh menilai, transisi energi mustahil berjalan mulus tanpa struktur kelembagaan yang kokoh dan aturan yang konsisten.
Menurut Prof. Syamsir, keberhasilan transisi energi sangat bergantung pada kerangka institusional yang mampu mengatur perencanaan, investasi, hingga pemanfaatan energi secara berkesinambungan.
“Transisi menuju energi terbarukan menuntut adanya kerangka institusional dan regulasi yang kokoh untuk memastikan perkembangan yang berkelanjutan, adil, dan efisien,” ujar Prof. Syamsir saat berbincang, Jum’at, 28 November 2025.
Ia menilai hambatan utama justru muncul dari tata kelola yang belum solid. Birokrasi yang panjang, koordinasi antar-sektor yang lemah, serta instabilitas kebijakan membuat penetrasi energi terbarukan sering terhambat di tahap awal.
“Tanpa tata kelola yang baik, penetrasi energi terbarukan berpotensi terhambat oleh kendala investasi, birokrasi, instabilitas regulasi, dan minimnya koordinasi antar sektor,” katanya.
Negara-negara yang agresif mengembangkan energi hijau, lanjutnya, memiliki pola serupa: regulator independen, lembaga teknis profesional, dan mekanisme pasar yang kompetitif serta lembaga teknis yang berkapasitas tinggi. Prof. Syamsir menilai Indonesia perlu menempuh jalur serupa agar tidak tertinggal dalam persaingan energi global.
“Perlu struktur kelembagaan dan regulasi mencakup berbagai lembaga, kebijakan, mekanisme pasar, serta instrumen hukum yang mengatur seluruh proses penyediaan energi, mulai dari perencanaan, investasi, hingga pemanfaatan,” ungkapnya.
Dia juga mengingatkan agar pemerintah mempertimbangkan pentingnya insentif berbasis kepastian hukum. Investor, tegasnya, perlu jaminan jangka panjang, bukan program yang berubah setiap pergantian pejabat.
“Konsistensi adalah kunci,” ucapnya menegaskan.
Selain itu, reformasi regulasi dianggap mendesak untuk menciptakan ekosistem yang mendukung percepatan dekarbonisasi. Prof. Syamsir menyebut bahwa tanpa penyederhanaan aturan, proyek energi terbarukan akan selalu kalah cepat dibanding pembangkit fosil.
“Oleh karena itu, penguatan institusi dan reformasi regulasi merupakan prasyarat utama menuju sistem energi rendah karbon yang berkelanjutan di masa depan,” tegasnya.
Diakuinya, transisi energi bukan sekadar agenda lingkungan, melainkan strategi masa depan untuk memastikan ketahanan energi nasional. Sehingga , ucapnya, jika Indonesia gagal membangun fondasi regulasi hari ini, maka kita akan membayar mahal di masa depan.
“Struktur kelembagaan dan regulasi memainkan peran fundamental dalam mendorong pengembangan energi terbarukan. Tanpa institusi yang kuat, energi terbarukan hanya akan jadi wacana. Tetapi dengan tata kelola yang baik, Indonesia bisa menjadi pemain utama energi bersih,” tandasnya.***