JAKARTA — Dunia manajemen konstruksi tengah bergerak menuju babak baru. Revolusi digital, krisis global, dan tuntutan keberlanjutan mengubah wajah konstruksi menjadi lebih cerdas, tangguh, dan beretika.
Hal itu disampaikan Prof. Dr. Susy Fatena Rostiyanti, ST, M.Sc., dalam orasi ilmiah pengukuhannya sebagai Guru Besar Bidang Manajemen Konstruksi Institut Teknologi PLN (ITPLN), di Jakarta.
“Pandemi COVID-19 membuka mata dunia akan rapuhnya sistem proyek dan rantai pasok. Tapi di sisi lain, ia mempercepat lahirnya paradigma baru—manajemen konstruksi yang berbasis data, adaptif, dan bermoral,” ujar Prof. Susy, dikutip Rabu, 12 November 2025.
Menurut Prof. Susy, digitalisasi kini menjadi tulang punggung utama industri konstruksi. Teknologi seperti Building Information Modeling (BIM), digital twin, kecerdasan buatan (AI), dan Internet of Things (IoT) yang mendefinisikan ulang cara proyek direncanakan dan dijalankan.
“Dengan digital twin, manajer bisa membaca perilaku bangunan secara real time dan mengantisipasi kerusakan sebelum terjadi,” katanya.
Transformasi digital ini, lanjutnya, menggeser peran manajer konstruksi dari sekadar pengatur waktu dan biaya menjadi pengelola ekosistem data yang kompleks. Setiap manajer konstruksi, tegasnya, harus memahami keamanan siber, tata kelola data, dan etika algoritma.
“Akuntabilitas digital kini menjadi bagian dari kompetensi manajerial,” ucap istri dari Kemal Hassan itu.
Prof. Susy menilai, ketahanan menjadi kompetensi baru yang tak terelakkan di tengah ketidakpastian global. Industri konstruksi harus siap menghadapi gangguan ekonomi dan krisis iklim tanpa kehilangan efisiensi dan keselamatan kerja.
“Manajer konstruksi masa depan perlu memiliki pandangan sistemik—mampu melihat keterkaitan antara regulasi, sumber daya manusia, dan logistik di bawah tekanan,” kata ibu dari Anandita Devitarianti dan Ananta Wikrama itu.
Dosen Teknik Sipil ITPLN itu menambahkan, penelitian terbaru menunjukkan bahwa perusahaan dengan kematangan digital tinggi pulih lebih cepat dari krisis. Artinya, kata Prof. Susy, kemampuan beradaptasi dan berpikir strategis kini sama pentingnya dengan kemampuan teknis.
Dalam orasinya, Prof. Susy juga menekankan bahwa keberlanjutan tidak lagi sekadar urusan sertifikasi hijau. Ia kini menjadi inti dari perencanaan, pengadaan, dan operasional proyek.
“Kita sedang bergerak ke arah ekonomi sirkular—setiap material harus memiliki paspor, setiap proses harus transparan dari hulu ke hilir,” tuturnya.
Penerapan material sirkular sejak tahap desain, katanya, dapat menekan karbon hingga 30 persen. “Instrumen digital seperti BIM-LCA, carbon dashboard, dan pelacakan material berbasis blockchain akan menjadi instrumen penting menuju konstruksi yang lebih transparan dan akuntabel,” tambahnya.
Kecanggihan teknologi, kata Prof. Susy, tak boleh menggeser nilai-nilai kemanusiaan. Dia menegaskan, teknologi seharusnya memperkuat keputusan manusia, bukan menggantikannya. Untuk itu, lanjutnya, literasi etika dan empati menjadi kompetensi manajerial penting di tengah arus digitalisasi.
“Kita bicara tentang kepemilikan data, bias algoritma, dan pengawasan digital. Semua itu membutuhkan kesadaran moral yang tinggi,” katanya.
Prof. Susy menutup orasinya dengan optimisme. Ia menggambarkan masa depan manajemen konstruksi sebagai kolaborasi antara teknologi, keberlanjutan, dan nilai kemanusiaan.
“Kita akan melihat peran baru seperti operator digital twin, koordinator keberlanjutan, dan manajer data. Masa depan bukan hanya tentang membangun gedung yang cerdas, tapi tentang membangun sistem dan manusia yang cerdas,” pungkasnya.***
