JAKARTA – Rektor Institut Teknologi PLN (ITPLN), Prof. Iwa Garniwa, mengingatkan bahwa penetrasi energi terbarukan yang terlalu cepat tanpa kesiapan teknologi dan sumber daya manusia dapat memicu instabilitas sistem kelistrikan nasional. Hal ini ia sampaikan saat Indonesia–Spain Renewable Energy Seminar, pada sesi paralel mengenai teknologi smart grid di kantor Badan Riset dan Inovasi Nasional, Jakarta.
“Jika penetrasi energi terbarukan menembus lebih dari 20 sampai 50 persen, sistem bisa menjadi tidak stabil. Rentang penetrasi 15–20 persen saja sudah mulai memunculkan tantangan pada keandalan jaringan listrik,” ujar Prof. Iwa di Jakarta, Kamis, 11 Desember 2025.
Ia menjelaskan bahwa kondisi bauran energi Indonesia saat ini masih didominasi energi fosil, di mana sekitar 60 persen berasal dari pembangkit besar berbasis batu bara, sisanya dari pembangkit kecil dan energi gas maupun diesel. Ketika energi terbarukan masuk dalam porsi besar, terutama di sistem kelistrikan Jawa dan Sumatra, muncul intermittency yang dapat mengganggu keseimbangan beban.
“Kita harus sangat berhati-hati untuk menjaga rotasi dan stabilisasi sistem,” katanya.
Untuk itu, lanjutnya, peran perguruan tinggi dan lembaga riset—seperti ITPLN, Universitas Indonesia, dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)—menjadi semakin krusial dalam menyediakan riset berbasis bukti (evidence-based technology) dan memprediksi kebutuhan sistem tenaga ke depan.
Ia menekankan bahwa transisi menuju Net Zero Emission (NZE) 2060 menuntut kesiapan sumber daya manusia yang besar.
“Perhitungan kami, ketika RUPTL dijalankan dalam 10 tahun, Indonesia membutuhkan sekitar 980 ribu tenaga kerja baru di sektor transisi energi,” ungkapnya.
Selain itu, tegasnya, kebutuhan SDM untuk operasi dan pemeliharaan (O&M) pembangkit baru diperkirakan mencapai 62 ribu orang per tahun. Dalam kesempatan ini, Prof. Iwa mempertanyakan kesiapan negara dalam memenuhi kebutuhan SDM tersebut.
“Pertanyaannya, dari mana kita mendapatkan sumber daya manusia sebanyak itu dalam satu dekade?” katanya.
Kepala Organisasi Riset Energi dan Manufaktur BRIN, Prof. Cuk Supriyadi Ali Nandar mengungkapkan, Indonesia memiliki ambisi besar menuju sistem energi yang aman, mudah diakses, dan berkeadilan pada 2045. Namun, ucapnya, Indonesia menghadapi tantangan unik dalam transisi energi, mulai dari kondisi geografis dengan lebih dari 17.000 pulau, ketimpangan akses listrik, pertumbuhan permintaan dari rumah tangga hingga industri dan transportasi, serta ketergantungan historis terhadap minyak.
“Pada tahun 2045, kita mendapat panggilan untuk sistem energi yang aman dan selamat. Indonesia berkomitmen mencapai net zero emission pada 2060 atau lebih cepat. Karena itu, transisi energi harus melindungi rakyat dan memastikan tidak ada wilayah yang tertinggal,” kata Prof. Cuk.
Ia menegaskan peran BRIN sebagai “mesin riset nasional” yang menghubungkan kebijakan dan sains, mulai dari ide hingga adopsi massal teknologi. Ia juga menyoroti dua agenda strategis Indonesia: modernisasi sistem kelistrikan melalui smart grid serta pengembangan biomassa dan bioenergi berkelanjutan.
Menurutnya, smart grid menjadi kunci karena transisi energi tidak sekadar menambah pembangkit energi terbarukan, tetapi mengelola ekosistem energi yang makin kompleks. Variabilitas tenaga surya dan angin, meningkatnya penggunaan kendaraan listrik, baterai, mikrogrid, hingga prosumer membuat jaringan listrik harus lebih cerdas dan adaptif.
“Smart grid memungkinkan penyeimbangan permintaan dan pasokan secara real-time, mengurangi losses teknis, serta meningkatkan keamanan sistem. Ini fondasi untuk memperkuat konektivitas antarpulau dan menyiapkan pasar listrik masa depan,” ungkapnya.
Sementara itu, Duta Besar Spanyol, Bernardo de Sicart Escoda, menilai Indonesia memiliki potensi besar dalam biomassa dan pengembangan smart grid. Ia menegaskan kepemimpinan Spanyol dalam energi terbarukan dibangun lewat kebijakan publik yang stabil, investasi riset, dan komitmen kuat sektor swasta.
“Modernisasi dan digitalisasi jaringan listrik adalah kunci untuk integrasi energi terbarukan. Spanyol memiliki pengalaman luas, dari proyek smart grid hingga solusi manajemen terdistribusi dan komunitas energi,” kata Bernardo.
Ia menekankan seminar ini bukan sekadar forum teknis, melainkan langkah memperkuat kemitraan strategis Indonesia–Spanyol dalam inovasi energi. “Saya yakin dialog antara peneliti, institusi, dan perusahaan akan menghasilkan proyek konkret dan manfaat bersama,” tandasnya.***


