JAKARTA — Pemerintah terus mendorong upaya efisiensi dan konservasi energi sebagai bagian dari strategi nasional menuju ketahanan energi dan pengendalian emisi karbon. Melalui berbagai program, laju konsumsi energi nasional diharapkan dapat ditekan, seiring pertumbuhan ekonomi yang terus berjalan.
Berdasarkan proyeksi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), konsumsi energi Indonesia diperkirakan mencapai 1.049,1 juta ton setara minyak (MTOE) pada 2060 apabila skenario business as usual diterapkan tanpa intervensi.
Namun, melalui penerapan skenario konservasi energi secara bertahap, angka tersebut dapat ditekan hingga 637,5 MTOE, atau berkurang sekitar 39 persen.
Wakil Rektor I Bidang Akademik Institut Teknologi PLN (ITPLN), Prof. Syamsir Abduh, menyebut situasi ketahanan energi nasional saat ini masih cukup rentan. Hal ini dia ungkapkan saat sosialisasi bidang energi di Kantor Wali Kota Jakarta BaratWali Kota Jakarta Barat dengan tema Peningkatan Efesiensi Penggunaan Energi melalui implementasi Sistem Manajemen Energi (SME) pada bangunan gedung.
“Kebutuhan bahan bakar minyak kita per hari mencapai 1.500 barel. Sayangnya, kapasitas produksi dalam negeri baru sekitar 800 barel per hari. Artinya, separuh kebutuhan BBM masih harus impor,” ujar Syamsir di lokasi, Selasa (18/6/2025).
Kondisi tersebut, lanjut dia, menciptakan peluang bisnis besar bagi segelintir pihak. “Ketika separuh pasokan kita bergantung impor, muncul potensi besar di situ. Itulah kenapa kita kerap mendengar soal mafia minyak. Ini bukan sekadar isu, tetapi realita di lapangan,” katanya.
Pemerintah, kata Syamsir, sejatinya telah menetapkan komitmen untuk mencapai net zero emission pada 2060. Sejumlah langkah prioritas kini tengah dilakukan, mulai dari restrukturisasi permesinan industri, penerapan standar industri hijau, hingga percepatan transportasi berbasis gas dan listrik.
Untuk menerapkan SME pada sektor bangunan dan perkantoran, ungkapnya, konservasi energi sebaiknya diterapkan sejak tahap desain hingga pemeliharaan instalasi. “Selain itu, peralatan dan sistem harus hemat energi dan sesuai standar. Salah satunya dengan pemilihan alat ber-faktor daya (power factor) tinggi serta penyesuaian kapasitas alat dengan kebutuhan operasional,” papar Syamsir.
Ia menjelaskan, motor listrik industri dengan efisiensi sekitar 90 persen sebaiknya diganti dengan motor berdaya lebih tinggi, meskipun harga lebih mahal. “Efisiensi tambahan sekitar 4 persen bisa menghemat energi sampai 25 persen,” ucapnya.
Langkah lain yang diterapkan adalah penggunaan saklar waktu dan pemasangan kapasitor untuk memperbaiki faktor daya sistem kelistrikan. Selain itu, alat power factor controller juga dinilai efektif menjaga stabilitas beban listrik di fasilitas perkantoran maupun industri.
“Upaya konservasi energi ini bukan sekadar soal penghematan, tapi juga tanggung jawab menjaga lingkungan dan memastikan ketahanan energi nasional di masa depan,” tutur Syamsir.
Upaya-upaya tersebut diharapkan mampu mendukung program konservasi energi nasional sekaligus menekan biaya operasional listrik di gedung-gedung perkantoran dan fasilitas umum.
Menyikapi kondisi ini, Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Barat mendorong penerapan Sistem Manajemen Energi (SME) di gedung-gedung perkantoran, baik milik pemerintah maupun swasta.
Wakil Wali Kota Jakarta Barat, Yuli Hartono, mengakui bahwa salah satu penyumbang emisi terbesar di Jakarta berasal dari sektor energi, terutama penggunaan listrik di bangunan gedung.
“Sektor energi bangunan menyumbang sekitar 26 persen emisi global, terdiri dari 8 persen emisi langsung dan 18 persen emisi tidak langsung dari produksi listrik dan panas,” kata Yuli Hartono.
Menurut Yuli, pemborosan energi yang terjadi di bangunan-bangunan sering kali dipicu oleh kurangnya pemahaman masyarakat mengenai efisiensi energi. Saat menjabat sebagai Kepala Dinas Perindustrian dan Energi DKI Jakarta, Yuli Hartono mengakui telah melakukan efesiensi energi untuk lampu penerangan jalan umum (PJU).
Saat itu, ungkapnya, Pemprov DKI harus membayar tagihan listrik sebesar Rp65 miliar per bulan untuk PJU. Namun, pihaknya mengganti seluruh lampu PJU dengan smart LED, sehingga tagihan listrik turun jadi Rp21 miliar per bulan.
“Itu baru satu sektor saja, PJU. Apalagi semua penggunaan energi di hemat. Saat ini, banyak orang belum sadar bagaimana menggunakan alat-alat listrik secara bijak di gedung maupun di rumah,” ucapnya.
Kegiatan ini dihadiri sejumlah mahasiswa ITPLN, pengelola gedung hingga ASN di lingkungan Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Barat. Sosialisasi ini dilakukan sejalan dengan regulasi yang telah diterbitkan pemerintah pusat dan daerah, di antaranya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2023 tentang Konservasi Energi, Peraturan Menteri ESDM Nomor 3 Tahun 2025, serta Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 5 Tahun 2023 tentang Rencana Umum Energi Daerah.
Kepala Suku Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi Jakarta Barat, Jackson Dianrus Sitorus, menyebutkan, penerapan SME dapat membantu gedung-gedung menekan konsumsi energi sekaligus menurunkan emisi karbon. “Selain efisiensi operasional, SME juga meningkatkan nilai properti dan citra perusahaan,” katanya.
Jackson menegaskan, kegiatan ini diharapkan menjadi pintu masuk untuk membangun kesadaran bersama, dimulai dari pengelola gedung pemerintah, gedung komersial, hingga masyarakat umum. “Kita sadar ini proses panjang, tapi kalau dimulai dari hal kecil dan dilakukan bersama, hasilnya bisa besar,” tegasnya.
Ke depan, Pemerintah Kota Jakarta Barat menargetkan sistem manajemen energi dapat diterapkan secara luas di seluruh bangunan gedung, termasuk rumah tinggal. Selain menekan polusi udara, upaya ini diyakini mampu berkontribusi signifikan dalam menurunkan emisi gas rumah kaca dan mencegah laju pemanasan global.***